Papeda yakni makanan khas berbahan dasar sagu. Formatnya mirip bubur, tetapi teksturnya lebih kental dan lengket.
Makanan tradisional ini banyak dijumpai Papua, Maluku, dan beberapa daerah di Sulawesi.
Bagi masyarakat di Papua dan Maluku, papeda bukan sekedar makanan. Pun, papeda dihormati dan disakralkan sebab kerap dihidangkan dalam upacara-upacara adat.
Salah satunya, papeda kerap diperkenalkan dalam upacara Watani Kame. Upacara spaceman slot itu digelar sebagai petunjuk usainya siklus kematian seseorang. Nantinya, bagi relasi yang banyak membantu pada upacara Watani Kame akan mendapatkan papeda.
Di lokasi lain, tepatnya di Inanwatan, papeda sepatutnya disuguhkan sewaktu upacara kelahiran buah hati pertama. Papeda umumnya diperkenalkan bersama daging babi.
Adapun di Maluku, tepatnya di Pulau Seram, papeda dikenal sebagai sonar monne. Suku Nuaulu kerap menyantapnya.
Seperti di Papua, papeda juga dihadirkan dalam ritual, contohnya dikala perayaan masa pubertas seorang gadis.
Di samping itu, masyarakat suku Nuaulu dan suku Huaulu juga mempunyai mitos berkaitan papeda. Kepercayaan di sana, perempuan yang sedang dalam masa haid dilarang memasak papeda. Kala itu, mereka menganggap pelaksanaan merebus sagu menjadi papeda yakni tabu.
Masyarakat menganggap papeda sebagai makanan yang dihormati sebab masakan khas itu terbuat dari sagu. Bagi masyarakat adat Papua, sagu betul-betul dihormati.
Dikutip dari indonensia.go.id, dalam mitologi yang dipercaya masyarakat adat Papua, sagu diyakini sebagai penjelmaan manusia.
Bagi masyarakat Raja Ampat, Papua Barat, sagu dianggap sebagai sesuatu yang demikian itu istimewa.
Oleh sebab itu, sewaktu memanen sagu, mereka kerap mengadakan upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan kepada hasil panen sagu yang melimpah, sehingga bisa memenuhi kebutuhan segala keluarga.
Diinfokan dari buku Kelezatan Kuliner Papua yang ditulis regu Litbang Penunjuk, banyak suku di Papua mengetahui mitologi sagu yang dikisahkan sebagai penjelmaan manusia dengan berjenis-jenis kisah dan nama. “Sagu yakni inti dari berjenis-jenis ritual masyarakat adat di pesisir dan dataran rendah Papua,” ujar antropolog, JR Mansoben, yang menjadi narasumber dalam artikel tersebut.